Misteri Bayangan Hitam di Jembatan Sidowayah Alas Banjarejo Mantingan Ngawi ,Terheboh Dan Ter Unik
Misteri Bayangan Hitam di Jembatan Sidowayah Alas Banjarejo Mantingan Ngawi
Sore itu saya disuruh Bapak pergi ke desa nenek untuk sebuah urusan keluarga. Dusun Pehnongko terletak di Desa Gentong Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Saya, dengan sangat gembira bisa memanfaatkan SIM A yang baru jadi kemarin, segera saja mengiyakan perintah Bapak.
Saya ajak dua adik saya, Fatih dan Taqien, untuk menemani. Mereka berdua juga terlihat sangat gembira, maklum bisa jalan-jalan sendiri tanpa harus diawasin Bapak yang terkenal, yah bisa dibilang, galak. Setelah sholat maghrib, kami berangkat. Bapak dan Ibu memberi pesan, “Hati-hati ya, SIM kamu masih baru, jangan ngebut, santai saja. Paling nanti sampe sana jam setengah sembilan. Do’a dulu, jangan lupa! Sungkem buat Mbah Putri, buat Bu Nik sama Budhe Jen ya !” “Nggih !”, kami menjawab serempak. Terlihat rona sumringah di wajah kami bertiga.
Saya pun tersenyum penuh kegembiraan. Saya teringat cerita-cerita orang, bahwa kalau jalan di malam hari sering menemui hal-hal yang kurang masuk akal. Untuk mengantisipasi hal itu, saya tak lupa menggumamkan do’a perjalanan, yang memang sudah saya hapal dari kecil.
Saya hidupkan mesin mobil Colt T120 tahun 1977 itu, walaupun mobil tua, tapi suaranya tetep jos meraung-raung.
Singkat cerita, kami sampai di Pehnongko sekitar jam delapan malam. Padahal perkiraan baru sampai sekitar jam setengah sembilan. “Wah, cepet nih nyampenya!” pikir saya.
Maklum, SIM baru, jadi lupa pesan Bapak Ibu di rumah, Lumayan belagu juga tadi di jalanan.
Ketemu Mbah Putri, kami menyampaikan pesan Bapak Ibu, Kami disuruh Mbah untuk makan. Kami bertiga makan dengan lahap. Maklum tadi kelaparan di jalan.
Sebenarnya, Mbah Putri menyuruh kami untuk menginap dulu.
" ini sudah malam. Mendingan kalian bertiga nginep aja dulu. Besok pagi-pagi baru pulang. Paling Bapak Ibu kalian maklum”, begitu kata Mbah Putri.
“Mas, langsung pulang aja deh, kan asyik jalan malem- malem lewat alas Mantingan. Pasti nanti sepi, ngga ada mobil lain. Bisa ngebut ! he he he”, bisik si Fatih.
“Iya Mas, sekalian ngetes mobil !”, tambah si Taqien.
Jam di dinding waktu itu menunjukkan pukul sebelas malam, “Kami pulang sekarang aja deh Mbah Putri”, ijin saya kepada Mbah Putri.
“Ya sudah kalau mau kalian begitu, tapi hati-hati lho, Soalnya kan sudah malam. Oh iya, kalau kalian nanti lewat jembatan Sidowayah di alas Mantingan, yang pas turunan terus belok itu, jangan lupa lempar recehan lima puluhan”, pesan Mbah Putri.
“Nggih Mbah”, sambil lalu saja saya mengiyakan pesan Mbah Putri.
“Iya. Soalnya di jembatan itu kan dua tahun lalu pernah ada kecelakaan bis. Penumpangnya mati semua”, imbuh Budhe Jen.
“Hati-hati ! Jangan lupa baca do’a dulu!” teriak Mbah Putri ketika saya menghidupkan mesin mobil, “Nggih Mbah !”, serempak lagi kami menjawab.
Kami pun pulang, Sambil konsentrasi menyetir, saya melirik jam tangan Fatih. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. “Wah pas sekali jam dua belas nyampe alas Mantingan”,gumam saya. Sementara Fatih dan Taqien terus saja bercanda, Kira-kira lima menit kemudian, terlihat jembatan yang disebutkan Mbah Putri tadi.
Tiba-tiba saya jadi teringat pesan Mbah Putri, padahal tadinya saya hanya berpikir bahwa pesan tadi cuma ungkapan kekhawatiran seorang Mbah kepada cucunya, Pikiran saya tergelitik, bimbang, antara percaya terhadap tahayul dengan keinginan untuk mengikuti
pesan Mbah Putri.
Misteri Penghuni Benteng Pendem dan History Perjuangan Ulama Besar Ngawi
Saya tanya Taqien yang duduk di belakang. “Qien, kamu punya lima puluhan ngga?” Taqien merogoh semua saku celananya, kemudian menjawab, “Wah mas, aku ora duwe ki” (wah mas, aku ngga punya ini), “Kowe duwe ora Tih?” (Kamu punya ngga Tih?), Fatih mencari-cari, sementara saya juga mulai kebingungan mencari recehan lima puluhan.
“Kalo lima puluhan, saya ngga punya mas, tapi kalo seratusan, ada nih” begitu jawab Fatih.
“Kamu inget ngga, pesan Mbah Putri tadi?” tanyaku kepada mereka.
“Inget, mas”, jawab Taqien.
“Ya sudah, kalau begitu, kita lempar aja seratusan ini, wong lima puluhannya ngga ada.” kata saya, Ketika persis sampai jembatan itu, saya suruh Fatih yang duduk di depan untuk melemparkan uang seratusan tadi ke jembatan.
Kemudian kami pun berlalu dari jembatan, yang katanya, angker itu, Kurang dari satu menit kami melewati jembatan, dari balik spion melintas sebuah bayangan hitam yang muncul dari bawah jembatan. Antara percaya dan tidak percaya, saya kucek mata saya, bayangan itu mulai terbang, kira-kira sebatas pertengahan pohon jati yang memang banyak terdapat
di alas Mantingan ini.
Saya berkata kepada Fatih dan Taqien “Cah, liat deh ke belakang!”
“Wah! apaan tuh?” teriak mereka berbarengan.
“Jangan-jangan gara-gara kita ngga ngelempar lima
puluhan !!” teriak Fatih mulai ketakutan.
Bayangan itu mulai mendekat, tanpa pikir panjang, saya injak pedal gas lebih dalam, Saya tak peduli lagi dengan keadaan jalan, yang penting selamet, pikir saya.
“Mas !!!!! Tambah Gaaaaasssss !!!!!!” Fatih berteriak semakin ketakutan, Rupanya bayangan hitam itu lebih cepat daripada mobil kami, padahal saya sudah berusaha semaksimal mungkin mempercepat laju kendaraa.
“massss takuttttttt !!!!!” Fatih berteriak kencang sangat ketakutan, “Di sebelaaaaaaahhh kuuuuuuuu !!!!!!” teriaknya lagi, Kami bertiga mulai pucat pasi karena ketakutan, antara takut dan khawatir saya mengerem mobil sapa tau bayangan hitam tersebut kebablasan terbang.
Teryata bayangan hitam ikut berhenti juga pas disebelah kaca mobil samping, sejurus kemudian, bayangan hitam itu mengulurkan tangannya ke jendela mobil tempat duduk Fatih, sambil berkata dengan suaranya yang berat.
“Mas, ini kembaliannya tadi kebanyakan 50 rupiah !”
he he he hehehe, merinding yahhh
Sore itu saya disuruh Bapak pergi ke desa nenek untuk sebuah urusan keluarga. Dusun Pehnongko terletak di Desa Gentong Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi Jawa Timur.
Saya, dengan sangat gembira bisa memanfaatkan SIM A yang baru jadi kemarin, segera saja mengiyakan perintah Bapak.
Saya ajak dua adik saya, Fatih dan Taqien, untuk menemani. Mereka berdua juga terlihat sangat gembira, maklum bisa jalan-jalan sendiri tanpa harus diawasin Bapak yang terkenal, yah bisa dibilang, galak. Setelah sholat maghrib, kami berangkat. Bapak dan Ibu memberi pesan, “Hati-hati ya, SIM kamu masih baru, jangan ngebut, santai saja. Paling nanti sampe sana jam setengah sembilan. Do’a dulu, jangan lupa! Sungkem buat Mbah Putri, buat Bu Nik sama Budhe Jen ya !” “Nggih !”, kami menjawab serempak. Terlihat rona sumringah di wajah kami bertiga.
Saya pun tersenyum penuh kegembiraan. Saya teringat cerita-cerita orang, bahwa kalau jalan di malam hari sering menemui hal-hal yang kurang masuk akal. Untuk mengantisipasi hal itu, saya tak lupa menggumamkan do’a perjalanan, yang memang sudah saya hapal dari kecil.
Saya hidupkan mesin mobil Colt T120 tahun 1977 itu, walaupun mobil tua, tapi suaranya tetep jos meraung-raung.
Singkat cerita, kami sampai di Pehnongko sekitar jam delapan malam. Padahal perkiraan baru sampai sekitar jam setengah sembilan. “Wah, cepet nih nyampenya!” pikir saya.
Maklum, SIM baru, jadi lupa pesan Bapak Ibu di rumah, Lumayan belagu juga tadi di jalanan.
Ketemu Mbah Putri, kami menyampaikan pesan Bapak Ibu, Kami disuruh Mbah untuk makan. Kami bertiga makan dengan lahap. Maklum tadi kelaparan di jalan.
Sebenarnya, Mbah Putri menyuruh kami untuk menginap dulu.
" ini sudah malam. Mendingan kalian bertiga nginep aja dulu. Besok pagi-pagi baru pulang. Paling Bapak Ibu kalian maklum”, begitu kata Mbah Putri.
“Mas, langsung pulang aja deh, kan asyik jalan malem- malem lewat alas Mantingan. Pasti nanti sepi, ngga ada mobil lain. Bisa ngebut ! he he he”, bisik si Fatih.
“Iya Mas, sekalian ngetes mobil !”, tambah si Taqien.
Jam di dinding waktu itu menunjukkan pukul sebelas malam, “Kami pulang sekarang aja deh Mbah Putri”, ijin saya kepada Mbah Putri.
“Ya sudah kalau mau kalian begitu, tapi hati-hati lho, Soalnya kan sudah malam. Oh iya, kalau kalian nanti lewat jembatan Sidowayah di alas Mantingan, yang pas turunan terus belok itu, jangan lupa lempar recehan lima puluhan”, pesan Mbah Putri.
“Nggih Mbah”, sambil lalu saja saya mengiyakan pesan Mbah Putri.
“Iya. Soalnya di jembatan itu kan dua tahun lalu pernah ada kecelakaan bis. Penumpangnya mati semua”, imbuh Budhe Jen.
“Hati-hati ! Jangan lupa baca do’a dulu!” teriak Mbah Putri ketika saya menghidupkan mesin mobil, “Nggih Mbah !”, serempak lagi kami menjawab.
Kami pun pulang, Sambil konsentrasi menyetir, saya melirik jam tangan Fatih. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. “Wah pas sekali jam dua belas nyampe alas Mantingan”,gumam saya. Sementara Fatih dan Taqien terus saja bercanda, Kira-kira lima menit kemudian, terlihat jembatan yang disebutkan Mbah Putri tadi.
Tiba-tiba saya jadi teringat pesan Mbah Putri, padahal tadinya saya hanya berpikir bahwa pesan tadi cuma ungkapan kekhawatiran seorang Mbah kepada cucunya, Pikiran saya tergelitik, bimbang, antara percaya terhadap tahayul dengan keinginan untuk mengikuti
pesan Mbah Putri.
Misteri Penghuni Benteng Pendem dan History Perjuangan Ulama Besar Ngawi
Saya tanya Taqien yang duduk di belakang. “Qien, kamu punya lima puluhan ngga?” Taqien merogoh semua saku celananya, kemudian menjawab, “Wah mas, aku ora duwe ki” (wah mas, aku ngga punya ini), “Kowe duwe ora Tih?” (Kamu punya ngga Tih?), Fatih mencari-cari, sementara saya juga mulai kebingungan mencari recehan lima puluhan.
“Kalo lima puluhan, saya ngga punya mas, tapi kalo seratusan, ada nih” begitu jawab Fatih.
“Kamu inget ngga, pesan Mbah Putri tadi?” tanyaku kepada mereka.
“Inget, mas”, jawab Taqien.
“Ya sudah, kalau begitu, kita lempar aja seratusan ini, wong lima puluhannya ngga ada.” kata saya, Ketika persis sampai jembatan itu, saya suruh Fatih yang duduk di depan untuk melemparkan uang seratusan tadi ke jembatan.
Kemudian kami pun berlalu dari jembatan, yang katanya, angker itu, Kurang dari satu menit kami melewati jembatan, dari balik spion melintas sebuah bayangan hitam yang muncul dari bawah jembatan. Antara percaya dan tidak percaya, saya kucek mata saya, bayangan itu mulai terbang, kira-kira sebatas pertengahan pohon jati yang memang banyak terdapat
di alas Mantingan ini.
Saya berkata kepada Fatih dan Taqien “Cah, liat deh ke belakang!”
“Wah! apaan tuh?” teriak mereka berbarengan.
“Jangan-jangan gara-gara kita ngga ngelempar lima
puluhan !!” teriak Fatih mulai ketakutan.
Bayangan itu mulai mendekat, tanpa pikir panjang, saya injak pedal gas lebih dalam, Saya tak peduli lagi dengan keadaan jalan, yang penting selamet, pikir saya.
“Mas !!!!! Tambah Gaaaaasssss !!!!!!” Fatih berteriak semakin ketakutan, Rupanya bayangan hitam itu lebih cepat daripada mobil kami, padahal saya sudah berusaha semaksimal mungkin mempercepat laju kendaraa.
“massss takuttttttt !!!!!” Fatih berteriak kencang sangat ketakutan, “Di sebelaaaaaaahhh kuuuuuuuu !!!!!!” teriaknya lagi, Kami bertiga mulai pucat pasi karena ketakutan, antara takut dan khawatir saya mengerem mobil sapa tau bayangan hitam tersebut kebablasan terbang.
Teryata bayangan hitam ikut berhenti juga pas disebelah kaca mobil samping, sejurus kemudian, bayangan hitam itu mengulurkan tangannya ke jendela mobil tempat duduk Fatih, sambil berkata dengan suaranya yang berat.
“Mas, ini kembaliannya tadi kebanyakan 50 rupiah !”
he he he hehehe, merinding yahhh
Comments
Post a Comment